Pages

Rabu, 02 November 2011

Di Sebuah Persimpangan

Pagi ini, aku menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Berangkat pagi, meninggalkan istri dan anak di rumah, bergelut dengan hiruk pikuk kendaraan dan debu jalanan. Sesampai di kantor, tak lantas aku mengerjakan tugas karna sebelumnya telah hampir aku selesaikan (tinggal menunggu review).
Buka laptop, buka browser, buka email, tak ada yang baru, bahkan jawaban dari whistleblower pun belum aku dapatkan. Sedikit kecewa, aku mencoba membuka situs Kick Andy karena teringat tentang buku "to be great" yang bisa didapatkan secara gratis. Lagi-lagi aku harus kecewa karena undiannya sudah ditutup...hiks.
Tak apalah, sejenak kemudian aku membaca Andy's corner yang mengharukan. Tak tahan membacanya, aku pun mulai searching mengenai monetizing blog. Dari beberapa artikel, dan sembari mengingat hasil kumpul-kumpul komunitas blogger di kantor, aku mendapat satu simpulan bahwa jangan berfikir untuk monitizing terlebih dahulu, tp perbagus blog dan perbanyak loyalis ke blog yang dibuat. Hufff...pusing lagi aku, secara aku tidak pandai berbahasa inggris. Meski ada tools untuk menerjemahkan bahasa indonesia ke bahasa inggris, tp aku sering tidak puas dengan hasil yang didapat.
Sembari mencari ide untuk membuat blog yang bagus, iseng-iseng aku searching tentang Saptuari Sugiaharto (Entrepreneur muda asal Ngayogjokarto, founder dari Kedai Digital, dan telah memenangkan beberapa award mengenai entrepreneur baik nasional maupun internasional)....tak susah mencarinya, aku pun membuka blog beliau. Kesan pertama, wew....sosok sederhana yang terlahir dari keluarga sederhana ini memang luar biasa. Tertegun aku dibuatnya. Apalagi prinsip 5 detik dalam sedekah. Wew...hanya 5 detik kita harus memutuskan untuk sedekah atau tidak.
Dari kejadian-kejadian tersebut ditambah dengan pertemuan singkat dengan seorang sahabat, terpikir olehku untuk kembali ke dunia maya untuk mengumpulkan modal. Dan seterusnya ke dunia nyata untuk membantu sesama. Atau lebih tepatnya saling membantu. www.jakwircetem.com yang hampir aku tinggalkan, mungkin harus aku benahi kembali. Aku tidak boleh egois, toh sampai saat ini, hanya Jakwir Cetem lah yang menjadi harapanku untuk mewujudkan program padat karya.

Jumat, 15 April 2011

Jangan Minder

Semua kita adalah seseorang…..
Setiap manusia hidup di dunia ini memegang peranannya sendiri-sendiri. Dan setiap peran itu mempunyai pengaruh terhadap yang lain. Dengan demikian, tidak ada satu pun peran yang tidak penting.
Setiap manusia mempunyai akal, yang seharusnya digunakan untuk memilih peran yang akan dijalaninya.

Kamis, 11 November 2010

Kerja Tim

Dalam suatu tim, kekompakan adalah modal utama…
Satu kata, itu pasti…
Bukan berarti menolak perbedaan atau suatu konflik…
Tapi satu langkah ketika sama-sama berjalan….
Pilih yang terbaik, bukan yang terbanyak…
Tapi ketika menjadi tidak “sehat”…
Tak ada pilihan untuk sama-sama “sakit”…
Tinggalkan,dan…
Hendaknya membuat suatu pertahanan…
Jikalau nanti ikut terseret…

Hati-hati

Jangan pernah meninggalkan petunjuk sedikitpun jika engkau tidak ingin diketahui…Kejahatan selalu meninggalkan petunjuk,tapi petunjuk selalu bisa diminimalkan…

Jangan berbicara jika rahasiamu ingin aman…Sangat sedikit orang yang mampu menjaga rahasia..Meskipun itu adalah teman baikmu yang sangat kamu percaya

Bangkit

Dunia tak kan runtuh hanya karna kamu kehilangan kekasih
Dunia tak kan runtuh hanya karna kamu kehilangan keluarga
Dunia tak kan runtuh hanya karna kamu kehilangan pekerjaan
Dunia tak kan runtuh hanya karna kamu terkena musibah lainnya
Duniamu akan hancur jika kamu terus larut dalam kesedihan,kegagalan dan putus asa

Bunglon

Meleburlah…Dan jadilah seperti mereka…Jangan lupakan diri sendiri…Buat cover story dan berhati-hatilah didalamnya..

Jadikan setiap keseharian adalah alibi…Jangan sampai berubah hingga tujuan tercapai…Susun rencana yang matang dan jangan lupa cari alternatifnya…Kemudian, kenali sekitar dan cari jalan teraman untuk keluar dan masuk

Jumat, 02 Juli 2010

Menuju Bandara (Bagian 1)

Minggu, 27 Juni 2010
Nice trip...
Perjalan dimulai dari Stasiun UI. Sekitar pukul delapan pagi lebih, kami keluar dari kontrakan kami. Alhamdulillah, lalu lintas masih belum padat waktu itu sehingga kami bisa menyeberang dengan tenang dan aman. Mungkin karena masih pagi sehingga kendaraan masih jarang yang melintas menuju kota Depok. Menjelang siang sampai malam hari, lalu lintas di sepanjang Jalan Margonda sangatlah ramai. Nnah, pada saat tersebutlah, setiap penyeberang jalan harus "mempertaruhkan nyawanya". Pasalnya, meski sudah ada zebra cross, tak banyak para pengendara yang mau memberikan kesempatan bagi para pejalan kaki untuk menyebrang. Justru sebaliknya, bak jalan bypass, kecepatanpun jarang ada yang diturunkan. Terutama para pengendara motor. Mungkin saja mereka ada keperluan yang mendesak sehingga harus cepat sampai tempat tujuan, atau memang mereka tidak tahu jikalau ada pejalan kaki yang hendak menyeberang. Semoga saja kelak Pemerintah Kota Depok memberikan fasilitas bagi penyeberang jalan disekitar Gang Sawo ke Kober agar mereka bisa menyeberangi jalan raya dengan aman dan nyaman karena disini sangat banyak penyeberangnya. Maklumlah, daerah kos-kosan mahasiswa.

Sesampai ditempat adik, kami bertemu dengan Bapak kami dan adik-adik kami. Kami pun segera bergegas menuju stasiun. Sempat terucap nasihat dari Bapak agar kami menjaga kerukunan antar saudara sebelum akhirnya kami menyeberangi rel kereta api. (Akan sangat indah negeri ini apabila setiap orang dapat hidup rukun dan saling membantu). Terlihat jelas tulisan yang dipasang disalah satu pagar yang mengingatkan bahwa maut ada di depan mata. Meski demikian, masih ada saja orang yang tertabrak kereta api.

Karena salah persepsi, kamipun akhirnya naik KRL Ekonomi AC. Meski sedang hamil, istriku terpaksa harus berdiri karena tidak ada tempat duduk lagi. Courtesy seat sudah penuh dengan bapak-bapak yang sedang terlelap menikmati tidurnya dan ibu-ibu yang bisa dikatakan sudah melewati masa mudanya. Tidak terlalu penuh memang, berbeda situasinya pada saat jam sibuk. Jangankan KRL Ekonomi atau Ekonomi AC, KRL Express yang notabene harganya jauh lebih mahal, berjubel dipenuhi penumpang. Tak jarang kami melihat atap KRL Ekonomi yang dipenuhi dengan penumpang. Menakjubkan, betapa beraninya orang-orang negeri ini. Untunglah, ini hanya terjadi di rute Bogor-Jakarta.
Melihat kondisi demikian, serasa pemerintah tidak berdaya menghadapinya. Langkah kongkrit untuk mengatasi masalah transportasi tak kunjung terlihat. Tak satupun terlihat. Salahkah pemerintah?. Tidak, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah. Benar memang sarana transportasi merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan, akan tetapi warga negarapun harus ikut berpartisipasi. Setidaknya dirinya tidak menambah beban pikiran pemerintah.

Buah kesabaran pun kami tuai, setelah stasiun Bojonggedhe, akhirnya istriku bisa duduk di courtesy seat. Tak lama kemudian kami pun tiba di Stasiun Bogor. Peron yang cukup jauh jaraknya dari tangga KRL membuat kami sedikit kerepotan. Akan menjadi hal yang diluar akal apabila aku menyuruh istriku yang sedang hamil untuk loncat turun. Akhirnya akupun berusaha membantunya turun dengan cara menahan badannya dari bawah.
Di Stasiun Bogor ada sekitar empat atau lima peron yang tingginya sama dengan tinggi pintu kereta bagian bawah sehingga penumpang tidak mengalami kesulitan ketika hendak masuk atau keluar dari kereta. Entah mengapa masih ada peron yang terlalu rendah, mungkin biaya investasinya cukup besar untuk meninggikan peron.