Pages

Jumat, 02 Juli 2010

Menuju Bandara (Bagian 1)

Minggu, 27 Juni 2010
Nice trip...
Perjalan dimulai dari Stasiun UI. Sekitar pukul delapan pagi lebih, kami keluar dari kontrakan kami. Alhamdulillah, lalu lintas masih belum padat waktu itu sehingga kami bisa menyeberang dengan tenang dan aman. Mungkin karena masih pagi sehingga kendaraan masih jarang yang melintas menuju kota Depok. Menjelang siang sampai malam hari, lalu lintas di sepanjang Jalan Margonda sangatlah ramai. Nnah, pada saat tersebutlah, setiap penyeberang jalan harus "mempertaruhkan nyawanya". Pasalnya, meski sudah ada zebra cross, tak banyak para pengendara yang mau memberikan kesempatan bagi para pejalan kaki untuk menyebrang. Justru sebaliknya, bak jalan bypass, kecepatanpun jarang ada yang diturunkan. Terutama para pengendara motor. Mungkin saja mereka ada keperluan yang mendesak sehingga harus cepat sampai tempat tujuan, atau memang mereka tidak tahu jikalau ada pejalan kaki yang hendak menyeberang. Semoga saja kelak Pemerintah Kota Depok memberikan fasilitas bagi penyeberang jalan disekitar Gang Sawo ke Kober agar mereka bisa menyeberangi jalan raya dengan aman dan nyaman karena disini sangat banyak penyeberangnya. Maklumlah, daerah kos-kosan mahasiswa.

Sesampai ditempat adik, kami bertemu dengan Bapak kami dan adik-adik kami. Kami pun segera bergegas menuju stasiun. Sempat terucap nasihat dari Bapak agar kami menjaga kerukunan antar saudara sebelum akhirnya kami menyeberangi rel kereta api. (Akan sangat indah negeri ini apabila setiap orang dapat hidup rukun dan saling membantu). Terlihat jelas tulisan yang dipasang disalah satu pagar yang mengingatkan bahwa maut ada di depan mata. Meski demikian, masih ada saja orang yang tertabrak kereta api.

Karena salah persepsi, kamipun akhirnya naik KRL Ekonomi AC. Meski sedang hamil, istriku terpaksa harus berdiri karena tidak ada tempat duduk lagi. Courtesy seat sudah penuh dengan bapak-bapak yang sedang terlelap menikmati tidurnya dan ibu-ibu yang bisa dikatakan sudah melewati masa mudanya. Tidak terlalu penuh memang, berbeda situasinya pada saat jam sibuk. Jangankan KRL Ekonomi atau Ekonomi AC, KRL Express yang notabene harganya jauh lebih mahal, berjubel dipenuhi penumpang. Tak jarang kami melihat atap KRL Ekonomi yang dipenuhi dengan penumpang. Menakjubkan, betapa beraninya orang-orang negeri ini. Untunglah, ini hanya terjadi di rute Bogor-Jakarta.
Melihat kondisi demikian, serasa pemerintah tidak berdaya menghadapinya. Langkah kongkrit untuk mengatasi masalah transportasi tak kunjung terlihat. Tak satupun terlihat. Salahkah pemerintah?. Tidak, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah. Benar memang sarana transportasi merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan, akan tetapi warga negarapun harus ikut berpartisipasi. Setidaknya dirinya tidak menambah beban pikiran pemerintah.

Buah kesabaran pun kami tuai, setelah stasiun Bojonggedhe, akhirnya istriku bisa duduk di courtesy seat. Tak lama kemudian kami pun tiba di Stasiun Bogor. Peron yang cukup jauh jaraknya dari tangga KRL membuat kami sedikit kerepotan. Akan menjadi hal yang diluar akal apabila aku menyuruh istriku yang sedang hamil untuk loncat turun. Akhirnya akupun berusaha membantunya turun dengan cara menahan badannya dari bawah.
Di Stasiun Bogor ada sekitar empat atau lima peron yang tingginya sama dengan tinggi pintu kereta bagian bawah sehingga penumpang tidak mengalami kesulitan ketika hendak masuk atau keluar dari kereta. Entah mengapa masih ada peron yang terlalu rendah, mungkin biaya investasinya cukup besar untuk meninggikan peron.

0 komentar:

Posting Komentar